“Pak, bisa tolong lebih cepat?” kataku kepada sopir taksi ketika melihat speedometer-nya hanya menunjukkan kecepatan 50 km/jam.
Dari spion tengah, kulihat sopir itu mengangguk, mencoba tersenyum, dan senyumnya segera saja membuatku tidak enak hati. Sopir itu sudah berusaha keras tapi jalanan licin dan mobil-mobil yang berjalan merayap, membuatnya sulit untuk tancap gas. Kulihat di dashboard nama sopir itu Untung Santoso.
Sopir itu menekan gas lebih dalam, berbelok tiba-tiba ke kiri, mencoba menyalip mobil di depan, tapi truk minyak di depan melambat—membuatnya tak mungkin untuk memotong kembali ke kanan. Namanya Untung, namun keberuntungannya seperti jauh panggang dari kompor.
Setelah beberapa menit mengikuti rayapan truk minyak itu, keadaan justru membuat hatiku teriris. Mobil-mobil melambat dan kulihat antrian di depan gerbang tol seperti baru akan habis ketika Indonesia meraih piala dunia sepak bola. Tampaknya dua orang bernama Untung di taksi ini tak akan cukup untuk membuatku sampai ke bandara tepat waktu.
Menurut bapakku, karena aku lahir di tanggal satu Januari, aku akan membawa keberuntungan. Karenanya ia menamaiku Untung dengan embel-embel Sejati. Menurutku, entah aku lahir di tanggal satu atau tigapuluh satu, dengan nama Untung atau John, keberuntungan tidak ada hubungannya dengan semua itu. Aku malah tahu ada perwira bernama Letkol Untung yang bernasib sangat celaka. Gerakan 30 September yang ia pimpin gagal total. Parahnya, ia tertangkap secara tidak sengaja. Bayangkan, tertangkap sacara tak sengaja! Banci saja harus sengaja disergap satpol PP jika ingin ditangkap. Rasanya cuma Untung sepupunya paman Gober dalam komik Donald Bebek yang benar-benar hidup beruntung. Aku jadi penasaran, kalau dia ada di taksi ini, mungkinkah ia bisa membuatku sampai di Bandara tepat waktu?