Intro
Untung Untung Sejati adalah cerita pendek (cerpen) karyaku yang pernah tayang di koran Pikiran Rakyat. Cerpen ini sebenarnya bukan bergenre thriller ataupun fantasi. Di cerpen ini aku mencoba untuk menulis karya sastra yang bisa tampil di koran. Bahkan setelah sekian lama, aku masih juga takjub dengan hasilnya.
Ide ceritanya adalah tentang kebetulan yang merambat ke kebetulan berikutnya. Dari situ muncullah beberapa tema, namun tema yang paling mencolok adalah: nama adalah doa orangtua buat anaknya.
Selamat membaca.
Untung Untung Sejati
Untung Sejati. Mungkin, saat aku lahir, Bapak berdoa agar nasibku akan sebagus namaku itu, tanpa sadar sudah menjerumuskanku. Barangkali Bapak habis membaca cerita tentang Untung Surapati, seorang bocah beruntung—yang dikemudian hari menjadi pembesar dan beberapa ratus tahun kemudian diangkat sebagai pahlawan—tanpa sadar nama itu sebenarnya sebuah gelar. Harusnya Bapak tahu bahwa aku tidak ditakdirkan untuk mendapat anugerah sebagus itu dan pastinya tak bakal menjadi pahlawan. Memikirkan soal namaku, dan hal yang terjadi seminggu ini, dan bagaimana pagi ini dimulai, serta deretan mobil di depan, kupikir namaku seharusnya Sial Sejati.
Minggu inilah puncak kesialanku. Hampir tak ada tugas yang kuselesaikan tepat waktu; bosku mengamuk setiap hari; dan Firhan kena tipus. Sebenarnya sakitnya Firhan bukanlah kesialanku. Musibah itu murni miliknya. Tapi, karena ia mendadak terkapar di rumah sakit, terpaksalah aku dikirim ke Surabaya untuk menggantikannya serta memulai kesialanku.
“Proyek itu sudah telat dua minggu. Kau gantikan Firhan besok. Pesawatmu jam 7.30, dan meeting jam 10.30,” kata Bosku semalam, tepat sebelum aku pulang ke rumah.
Aku agak gentar karena tahu betapa tajam dan sadisnya mulut orang-orang bank di Surabaya itu. Mereka adalah gerombolan makhluk yang berpikir berhak membudaki orang lain jika perusahaannya sudah bayar mahal. Untuk menangkis congor dan taring mereka, semalam kuputuskan untuk mempelajari sebanyak mungkin laporan Firhan. Langkah itu terbukti sebagai kesalahan karena aku baru memutuskan tidur lewat tengah malam—dengan masih setumpuk laporan yang belum selesai kubaca. Sialnya, aku lupa memeriksa baterai ponselku.
Alarm gagal menjalankan tugas karena baterai ponselku habis. Jadi, pukul lima lebih aku baru terbangun.
Ketika akan ke luar rumah mencari taksi, alam mengujiku: hujan lebat seperti ditumpahkan dari langit, tepat saat aku membuka pintu. Lalu, perusahaan taksi bersekongkol untuk mengantarkan kesialan: taksi yang aku pesan tak kunjung datang. Setelah lima belas menit menunggu, kuputuskan untuk berjalan ke luar komplek dan mencari taksi di ujung jalan.
Sebenarnya aku agak girang karena hujan mulai reda, tapi keberuntungan masihlah jauh. Hampir tak ada taksi yang lewat di sana padahal biasanya banyak. Justru calon penumpang yang melimpah. Ada lima orang yang menunggu taksi.
Pukul enam lebih sepuluh aku baru mendapatkan tumpangan.