


If you want to be a writer, you must do two things above all others: read a lot and write a lot.
Stephen King
Menulis cerpen dan novel tak berbeda dari memasak daging, melukis, bermain musik, ataupun keahlian lainnya. Ia bisa sangat mudah, namun juga bisa sangat rumit. Semua tergantung keinginan orang yang meramunya.
Daging misalnya, bisa dimasak sangat sederhana dengan cara membakar atau menggorengnya. Namun ia bisa juga menjadi sangat rumit.
Demikian pula dengan cerpen dan novel. Kita bisa membuat ceritanya sederhana atau menjadi sangat rumit.
Seperti halnya mengolah daging, ada teknik-teknik dasar yang wajib dikuasai untuk mendapatkan masakan yang lezat. Kau pasti tahu bahwa teknik menulis kini bertebaran di internet. Sayangnya kalau kau ikuti semuanya, kepalamu bisa meledak sangking banyaknya hal yang harus kau pelajari. Beberapa orang malah memilih mengabaikan segala aturan-aturan menulis itu. Yang penting tulis aja, begitu pendapat mereka.
Aku termasuk yang beruntung karena saat pertama kali belajar menulis cerpen dan novel, tidak dijejali teknik-teknik rumit. Kebetulan aku bertemu buku karya Stephen King yang berjudul ‘On Writing’. Sebenarnya buku itu tidak bisa dibilang buku panduan menulis. Di sana Pak King cuma ngalor-ngidul menceritakan hidupnya, bagaimana ia menjadi penulis, dan bagaimana cara ia menulis cerpen dan novel.
Ada 3 komponen cerpen dan novel menurut Stephen King, yaitu: narasi, deskripsi, dan dialog.
Ya kau tak salah lihat. Cuma ada 3!
Mungkin kau terkejut dan bertanya, kok tidak ada tema, plot, karakter, sudut pandang (Point of View), gaya menulis (style), dan ratusan komponen lainnya?
Sabar, kita bahas dahulu satu persatu komponen yang dimaksud oleh Stephen King. Nanti kau akan lihat bahwa menulis cerpen dan novel memang tidak jauh berbeda dari memasak daging. Gampang atau rumit dan berapa banyak komponen yang mau dimasukkan, kaulah yang menentukannya. Dan karena cuma ada 3 komponen yang membentuk sebuah cerpen dan novel, bukan tiga puluh apalagi tiga ratus, kau akan lebih termotivasi untuk memolesnya.
1. Narasi
Narasi, seperti yang tertulis di buku On Writing, adalah komponen yang menggerakkan cerita dari titik A ke titik B dan seterusnya hingga mencapai titik Z.
Ya, sebuah cerita harus bergerak. Ia bisa berupa perjalanan seseorang dari satu tempat ke tempat lain, atau perjalanan seseorang dari satu keadaan ke keadaan lain.
Berikut ini adalah contoh sederhana sebuah narasi:
Bunga bangun pagi, lalu mandi, sarapan, dan pergi ke sekolah.
Lihat, begitu gampang membuat cerita. Dengan satu kalimat di atas kita sudah menceritakan kegiatan tokoh bernama Bunga sejak ia bangun pagi hingga pergi ke sekolah.
Ya, oke, aku tahu, kalimat itu memang tampak seperti kerangka. Cuma terdiri dari tulang-belulang. Karena itulah kita harus tambahkan dua komponen lainnya.
2. Deskripsi
Deskripsi, masih menurut Stephen King, adalah bagian yang menimbulkan realitas di benak pembaca.
Nah, dengan menggunakan deskripsi, kita bisa menggambarkan dunia yang ada di dalam cerpen dan novel sehingga pembaca bisa melihat dan merasakannya.
Kau pasti bertanya, bagaimana caranya menimbulkan realitas?
Jawabannya sama dengan jawaban dari pertanyaan, bagaimana kau merasakan keadaan di sekelilingmu?
Tentu saja melalui panca indra dan perasaan. Kita merasakan keadaan sekeliling kita karena kita melihatnya, mendengarnya, merasakan panas dan dinginnya, manis dan pahitnya, kasar dan halusnya.
Nah, seperti itulah cara membuat realitas dalam cerita. Gambarkan situasi dalam cerita melalui panca indra dan perasaan tokoh atau pencerita.
Sebagai contoh kita lengkapi kerangka cerita Bunga ini:
Bunga bangun pagi, lalu mandi, sarapan, dan pergi ke sekolah.
Misalnya kita bayangkan waktu bangun pagi Bunga mendengar suara kokok ayam, udara masih terasa dingin, dan matahari belum tampak. Kita juga bayangkan Bunga kesal waktu bangun pagi.
Setelah memutuskan hal-hal yang ingin kita masukkan dalam cerita, kita isi kerangka narasi menjadi sebagai berikut:
Si Jalu, ayam milik tetangga memang menyebalkan. Suara kokoknya di pagi buta begini sangat nyaring dan sama sekali tak merdu. Bunga membuka mata dan mendengus kesal. Suara si Jalu memotong mimpinya, meski sekarang ia tak ingat lagi apakah itu mimpi indah atau bukan. Yang tersisa hanya kesal karena kokok ayam sialan itu.
Kabut di matanya mulai menipis. Bunga menarik selimutnya. Udara masih terasa dingin. Ia melirik ke arah jendela. Tak ada sinar matahari yang menembus ventilasi. Pasti masih gelap di luar sana.
…
Dan seterusnya, dan seterusnya.
Ya, aku tahu, deskripsi di atas masih sangat buruk. Aku cuma ingin menunjukkan, bahwa untuk menimbulkan realitas di benak pembaca, kita harus menuliskan apa yang diamati oleh tokoh ataupun pencerita tentang dunia di dalam cerita. Kau bisa lanjutkan dan poles cerita di atas kalau kau mau.
3. Dialog
Dialog adalah komponen cerpen dan novel yang membuat tokoh-tokoh dalam cerita menjadi hidup melalui ucapan mereka.
Kalau melalui deskripsi pembaca bisa melihat bentuk fisik tokoh dan bagaimana mereka bertingkah, maka dialog memperjelas melalui ucapan mereka.
Seperti di dunia nyata, sering seseorang terlihat menarik, menyebalkan, pintar, bodoh, santun, atau arogan, hanya melalui kata-kata yang diucapkan. Hal seperti itu juga terjadi di dalam cerpen dan novel.
Ada satu rahasia yang mau kubagikan. Kalau kau bisa menunjukkan kepribadian tokoh melalui dialog, lakukan itu melalui dialog, jangan melalui deskripsi. Gambaran kepribadian yang disampaikan melalui dialog lebih kuat dan berbekas di benak pembaca.
Ini contohnya:
Melalui deskripsi:
Tigor orang yang kasar dan tak berpendidikan. Mulutnya kotor. Setiap ucapannya mengandung makian. Seperti hari ini. Sepuluh detik setelah memesan kopi, ia langsung memaki mbok pemilik warung yang menurutnya terlalu lama menyeduh kopi pesanannya.
Melalui Dialog:
Tigor masuk ke dalam warung itu dan memesan kopi. Sepuluh detik kemudian ia menggebrak meja.
“Anjing! Mbok, mana kopinya!” teriak Tigor.
Kesimpulan
Seperti yang kukatakan di awal tulisan. Menulis cerpen dan novel tak jauh berbeda dengan memasak daging. Tiga komponen di atas tentu masih sangat sederhana. Tapi, melalui mereka kau akan lebih mudah mengasahnya.
Sekarang, jika kau membaca teknik menulis di internet, kau akan tahu teknik tersebut akan kau gunakan untuk mengasah komponen yang mana.
Sebuah steik menjadi enak karena teknik pengolahannya yang rumit ditambah dengan berbagai bumbu dan saus. Ceritamu pun demikian. Untuk membuatnya rumit namun tetap enak dikunyah, kau harus menambahkan banyak bumbu dan mengolahnya dengan teknik khusus.
Berikut ini beberapa saran untuk memoles ketiga komponen di atas.
1. Narasi.
Kalau kau suka cara kerja yang terstruktur, kau bisa mempelajari cara membuat plot dan outline.
Kalau kau lebih memilih bercerita mengikuti insting, kau bisa mempelajari cara membuat adegan (scene). Cari teknik-teknik cara membuat struktur scene. Para pendukung teknik ini percaya bahwa cerita dapat dibuat hanya dari dua blok, yaitu scene dan sequence.
Asah juga cara membuat twist untuk membuat ceritamu tidak datar dan tidak mudah ditebak.
Lalu pelajari cara membuat flashback kalau kau membutuhkannya.
Intinya, pelajari cara menggerakkan cerita, baik itu maju, mundur, atau bergerak ke samping.
Satu saranku, kau tak perlu terlalu semangat untuk menguasai semuanya. Pelajari saja sambil jalan. Seperti belajar naik sepeda, yang penting bisa seimbang dan mengayuh dahulu. Teknik jumping dan freestyle lainnya kau pelajari jika sudah mengusai dasar mengendalikan sepeda.
2. Deskripsi
Deskripsi yang baik bisa membuat pembaca masuk ke dalam cerita, membuat pembaca mampu melihat dan merasakan apa yang dilihat dan rasakan oleh para tokoh.
Deskripsi melalui pancaindra dan emosi adalah dasar. Jika ingin memoles kemampuan ini kau bisa baca tulisan yang membahas tentang cara membuat seting.
Baca juga cara untuk menggambarkan karakter. Rajin-rajinlah mengamati lingkungan sekitar. Bagaimana tetangga berbicara, tukang sayur merayu, dan lain sebagainya.
3. Dialog
Dialog yang baik bisa mencerminkan karakter tokoh. Jadi untuk bisa menulis dialog yang baik harus mengerti betul sifat tokoh yang sedang berbicara. Kau bisa mengasah keterampilan membuat dialog dengan memperhatikan lingkungan sekitarmu. Perhatikan cara orang berbicara. Bisa juga dengan membaca teknik-teknik membangun karakter, entah itu protagonis, antagonis, atau karakter sampingan.
Sampai di sini dulu.
Oh ya, biar ngga ketinggalan dengan tulisan yang aku posting, kau bisa bergabung di newsletterku.
Salam menulis,
Ronny Mailindra